Minggu, 27 Januari 2008

Puasa: Sebuah Kontemplasi


Marhaban ya Ramadhan atau selamat datang Ramadhan1428H, adalah ungkapan religi yang sudah menjadi umum dan populer bagi kita semua dalam menyambut datangnya bulan yang penuh berkah ini. Bagi masyarakat Arab biasanya diungkapkan dengan kata-kata khusus sebagai doa tulus dan tanda keakraban, seperti; Romadhoon Mubaarok atau Romadhoon Sa’id yang berarti: semoga romadhon ini penuh berkah, atau yang sangat membahagiakan. Ungkapan ini tentunya memberikan isyarat yang jelas bahwa kita semua akan menerima kehadiran tamu agung yang membawa sejuta rahmat dan segudang keberuntungan bagi hidup kita semua. Tamu agung ini mestilah disambut dengan acara adat istiadat yang luhur dan persiapan yang matang serta program yang terencana. Tamu agung ini hanya datang sekali dalam setahun dan kita mungkin tak berkesempatan lagi untuk menyambut tamu ini pada tahun-tahun berikutnya. Ramadhan sebagai bulan yang penuh rahmat dan berkah datang untuk mendidik dan membantu manusia melakukan pengenalan dan pengembangan potensi diri dalam menterjemahkan makna ibadah dan khilafah fil ardi.

Puasa atau shoum dalam bahasa al-qur’an selalu mengingatkan kita bahwa Lupa diri adalah sebuah sindrom psikologis ( kejiwaan ) yang bersifat endemik dan sporadis dalam menyerang dan menimpa kebanyakan manusia di dunia ini. Kesibukan harian dan tradisi rumor, isu serta menjual gosip kemana-mana adalah sebuah kebiasaan buruk yang telah menjadikan manusia lebih mengenali keburukan dan kelemahan orang lain daripada kelemahan diri sendiri. Secara historis sindrom ini telah menjadi penyebab utama kepada keruntuhan beberapa dinasti agung yang telah berdiri selama ratusan tahun. Keruntuhan dinasti agung ini adalah kehancuran bagi beberapa peradaban agung yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia di dunia. Apabila manusia telah lupa diri dan lebih mengenal orang lain dari dirinya maka ia akan mengalami krisis identitas yang menjadikan dirinya hidup tanpa tujuan dan wawasan yang jelas dan pasti. Sindrom lupa diri akan menjadikan seseorang ingin menjadi orang lain, bersikap, berbuat dan bertindak seperti mereka. Perbuatan ini pada hakikatnya, hanya akan menimbulkan konflik kejiwaan pada diri manusia karena banyak hal dan perkara yang dilakukan tidak sesuai dengan fitrah dan hati nurani mereka sendiri. Sesungguhnya manusia tidak akan pernah dapat hidup tenang dan bahagia dengan menjadi orang lain tanpa menjadi dirinya sendiri.Allah berfirman:

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang telah melupakan Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa diri mereka. Sesungguhnya mereka itu adalah

orang-orang yang fasik dan durhaka.

Surah al-Hasyar ( 59 : 19 )

Ramadhan tak obahnya bagaikan sebuah pesanteren terbuka yang mendidik, membimbing dan mengajarkan manusia bahwa hidup yang bahagia, mulia dan bermarwah adalah mengenal diri dan mengembangkan jatidiri. Sesungguhnya kebahagian, kemulian dan harga diri manusia hanya terletak pada jatidiri dan integritas pribadinya. Jika manusia ingin menjadi bahagia dan mulia dengan menampalkan sesuatu pada dirinya berupa pangkat, harta dan penghormatan, maka ia akan menjadi sehina-hina makhluk tatkala semua yang ia miliki hilang dan berakhir. Semangat Ramadhan mengingatkan kita pentingnya berjiwa besar untuk melakukan hal-hal yang besar. Orang yang berjiwa besar sangat sadar dengan keterbatasan dirinya dan sanggup secara satria mengakui kelemahannya. Mengakui kelemahan diri sendiri akan menjadikan kita kuat karena kita sentiasa akan berusaha memperbaiki segala kelemahan serta dapat melihat, menghargai dan mempelajari kelebihan orang lain, guna mencapai keperibadian yang komfrehensih, Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Hamid Sulayman bahwa: “Krisis keperibadian bermula dari kerisis pemikiran yang pada puncaknya akan mengarah kepada krisis moral ummat”

Kita mesti menyadari bahwa: dunia Islam hari ini diselimuti awan mendung dan ditutupi kabut duka, karena Jiwa kerdil, pikiran sempit, sensitif, rakus, egoistik, hilang rasa malu, bangga dengan yang haram, iri hati dan hasad dengki, tidak berwawasan, suka berangan-angan dan sarat dengan agenda dan kepentingan pribadi yang menjadi penyebabnya, bahkan sifat-sifat ini menjadi hal yang umum bagi masyarakat kita. Sesungguhnya sifat-sifat negatif dan destruktif ini hanya akan menjadikan manusia tidak optimal dan maksimal dalam memanfaatkan segala anugerah yang ada, sehingga hidup menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Jika agenda perjuangan manusia hanya bersifat pribadi atau sekedar memenuhi tuntutan dan kepentingan pribadi, maka manusia akan hidup dengan jiwa yang kerdil, agenda yang kecil dan tidak prihatin kepada nasib orang lain. Semua ini tentunya sangat bertentangan dengan fitrah manusia, ajaran Islam dan materi yang diajarkan oleh pesantren ramadhan.

Sesungguhnya jika kita mau dan secara sukarela melihat kepada diri kita sendiri, kita akan menemukan banyak potensi diri kita yang belum kita eksplorasi dan eksploitasi untuk membina hidup yang kontributif dan kualitatif. Banyak potensi diri kita dan kelebihan (advantages) serta bakat (talent) yang terabaikan, terbiar dan terlupakan, karena kita lupa diri, suka meniru dan mudah hanyut dalam angan-angan. Sesungguhnya bulan Ramadahan adalah bulan kekuatan bukan kelemahan, bulan muhasabah ( self criticism ) dan penggalian potensi diri bukan bulan memuji diri (self praising ) dan berbangga diri, bulan kerja keras dan aktualisasi program, bukan bulan intirahat dan kemalasan, bulan kontemplasi dan intuisi bukan bulan tidur dan angan-angan, bulan prestasi dan bukan bulan kegagalan, bulan ukhuwah dan toleransi bukan bulan permusuhan dan peperangan, bulan ibadah dan pengabdian bukan bulan dosa dan kemaksiatan.

Siapa yang beramal soleh, dari lelaki atau perempuan, serta beriman, maka sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik; dan sesungguhnya kami akan membalas amal mereka, dengan

memberikan pahala yang lebih dari apa yang mereka telah kerjakan.

Surah an-Nahl ( 16 : 97 )

Pengenalan dan pengembangan jatidiri dapat kita capai jika kita benar-benar mau berusaha mengenal, memahami, melihat dan menilai diri kita sendiri. Pengembangan jatidiri kita dapat terlaksana dengan baik jika kita dapat memahami kehadiran dan keberadaan Ramadhan sebagai sebuah pesanteren terbuka ataupun sebuah pusat pendidikan dan pelatihan ( training center ) untuk mengenal, mendidik, menempa dan membina diri dan jiwa kita yang selalu inginkan perbaikan dan peningkatan kualitas. Dengan jatidiri yang baik, fitrah yang murni, hati yang bersih, spiritual yang cerdas semangat waja, cinta yang tulus dan murni kepada Allah dan akhlak yang mulia kita dapat mencapai kehidupan yang Islami, damai, penuh keimanan, istiqomah dan selamat di dunia dan di akhirat.

Tidak ada komentar: