Selasa, 05 Februari 2008

PENDIDIKAN DAN POLARISASI SOSIAL



Oleh

Lukman Syarif, MA.

PENDIDIKAN, kunci masa depan bangsa yang cerah, cemerlang, sejahtera, dan harmoni. Pendidikan juga barometer keberhasilan masa depan bangsa yang bercita-cita membangun sebuah peradaban agung serta menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan sejagat. Dengan konsep pendidikan dan falsafahnya yang berkwalitas, suatu bangsa dapat tersenyum gembira dan tidur dengan lena menanti kehadiran masa depan yang gemilang penuh dengan keberhasilan yang berwarna-warni. Kegagalan membangun dan menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang komprehensif, maju, dan mapan pada hakikatnya adalah sebuah kegagalan yang akan menjerumuskan bangsa ke jurang keterbelakangan, keterpurukan ekonomi politik dan budaya, serta kehancuran nilai-nilai kemanusiaan sejagat.


Terminologi bangsa yang besar sering dipakai sebagai sebuah identitas semula jadi ( fitrah ) untuk bangsa Indonesia yang saat ini berpenduduk lebih dari 250 juta, yang terkesan sebagai sebuah bangsa yang besar, kuat dan hebat, walaupun pada hakikatnya ia hanyalah sebuah fatamorgana bagi mereka yang mau berpikir tentang hakikat kebesaran yang terkandung pada terminologi di atas. Kekuatan yang terletak pada angka dan jumlah (numerical strength) biasanya sering dipertikaikan oleh banyak orang karena sering dipandang sebagai sebuah kekuatan yang mengandung banyak kelemahan. Kelemahan ini dapat dilihat dengan jelas dalam lipatan sejarah bangsa kita yang telah beberapa kali menjadi objek penindasan bangsa penjajah walaupun jumlah mereka sangat kecil, jika dibandingkan jumlah rakyat Indonesia pada saat itu.


Sebagai sebuah bangsa dengan jumlah yang besar, kita sendiri mungkin bertanya mengapa masih lemah walaupun kita telah merdeka lebih dari setengah abad? Padahal, bumi kita diberkati Allah SWT dengan kekayaan alam yang sangat banyak. Secara jujur kita akan mengakui bahwa kita sangat terkebelakang sekali jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga yang baru merdeka, baik dari aspek efektifitas pelayan publik yang masih sangat jauh dari mencapai tahap pelayanan prima, bahkan rakyat terkesan menjadi objek ekploitasi beberapa oknum aparatur pemerintah yang menguasai birokrasi kita, fundamental ekonomi yang lemah, stabilitas politik yang masih diragukan dan keamanan dalam negeri yang masih sering dipertanyakan. Sesungguhnya semua kelemahan ini adalah manifestasi nyata dari kelemahan sumber daya manusia yang kita miliki hari ini.

Setelah lebih setengah abad merdeka, kita masih menemukan rakyat Indonesia yang buta huruf, buta birokrasi, buta falsafah hidup dan hakikat perjuangan, dan bangga dengan budaya feodal. Dari 250 juta bangsa Indonesia hari ini hanya 15-25% yang pernah dan sedang menikmati pendidikan di perguruan tinggi yang masih sangat minim dari sudut fasilitas dan sumber daya manusia.


Kesalahan warisan yang masih berlanjut dari dulu sampai sekarang adalah sikap kita yang dengan sengaja melihat pendidikan dengan pandangan sebelah mata. Perhatian serius yang seharusnya diberikan kepada pembangunan pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan ternyata tidak pernah menjadi kenyataan, lebik buruk lagi akses kepada pendidikan sangat terbatas sekali, terutama terhadap masyarakat kelas bawah yang miskin dan terasing dari arus pembangunan yang biasanya hanya dinikmati golongan tertentu. Demokratisasi pendidikan yang menjamin kesamaan hak dan akses terhadap pendidikan berdasarkan prestasi dan kemampuan intelektual kurang terlaksana dan bahkan terkesan diabaikan, sehingga polarisasi rakyat terbentuk berdasarkan kemampuan ekonomi dan standar hidup dalam memenuhi tuntutan pendidikan yang semakin hari semakin meningkat dan hampir menutup impian dan harapan masyarakat miskin yang terpinggir untuk menanti hari esok yang lebih cerah.


Jika kita sanggup bersikap jujur dan bertindak lebih profesional dalam menatap barisan kepemimpinan nasional hari ini, kita akan menemukan sebagian besar mereka berasal dari keluarga yang mampu atau pun berasal dari keluarga orang ternama dan terpandang di masyarakat. Hanya sebagian kecil saja pemimpin kita yang berasal dari kelompok masyarakat miskin, lemah, dan tidak berdaya. Sebagai akibat langsung dari polarisasi akses kepada pendidikan sebagian besar masyarakat lemah dan miskin hanya akan menjadi penonton setia menyaksikan peralihan kekuasaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya yang mungkin berasal dari golongan tertentu.
Peralihan ini nyaris terjadi pada semua aspek kehidupan kita, baik dalam bentuk kesempatan kerja, kaderisasi partai, organisasi masyarakat, kampus, dan kuasa ekonomi. Dalam keadaan seperti ini, amat wajar jika seorang anak nelayan atau pun anak petani dan buruh kasar yang telah beberapa keturunan menjadi nelayan, petani, dan buruh kasar di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Riau, untuk bersikap apatis terhadap pendidikan nasional kita.


Kehidupan di abad ini menghantarkan kita pada sebuah kehidupan yang berdasarkan teknologi digital (digital society) yang juga mengajak kita untuk berinteraksi dengan konsep perdagangan berdasarkan eletronik (e-commerce), teknologi informatika (information technology), masyarakat berdasarkan ilmu (knowledge based society) dan globalisasi yang telah merubah wajah dunia hari ini menjadi sebuah kampung yang kecil (small village). Di manakah bangsa kita dari semua kemajuan ini? Barapakah tingkat literasi komputer kita (computer literacy)? Apakah kita akan berpuas hati dengan menjadi bangsa pengekspor tenaga kerja yang tidak mahir ( unskilled labour ), walaupun penghinaan dan penindasan majikan asing terus berlangsung? Apakah kita hanya layak untuk dikenali sebagai bangsa yang layak untuk menjadi pekerja kasar? Masihkan pemimpin, hartawan, dan ilmuan kita berbangga dengan apa yang mereka miliki hari ini, padahal mereka dikelilingi oleh rakyat yang lemah, miskin, terbiar, dan tidak terpelajar.
Bangsa kita hari ini dikelilingi bermacam-macam masalah yang semuanya bermuara pada ketidakberdayaan kita dalam melaksanakan pembangunan dan pengembangan pendidikan nasional yang baik untuk menuju hari esok yang lebih cerah. Malaysia sebagai contoh telah berhasil menelurkan ilmuan level PhD. Lebih dari 7000 orang untuk sebuah negara kecil yang berpenduduk kurang dari 23 juta, dengan 20 perguruan tinggi negeri dengan daya tampung 15-25 ribu mahasiswa dan lebih dari 100 perguruan tinggi swasta dengan daya tampung 100-700 orang. Semua perguruan tinggi ini dilengkapi fasilitas yang sangat lengkap dan layak dibanggakan. Dalam satu waktu dapat diperkirakan bahwa hampir 1,5 juta Mahasiswa berada di perguruan tinggi. Malaysia juga berhasil mengirim pelajar-pelajar terbaiknya untuk belajar di luar negeri dengan jumlah yang sangat besar; di Mesir 7000 orang, di United Kingdom 15.000 orang, di USA 10.000 orang, dan di Austaralia 2.500 orang.


Mesir sebagai negara miskin dengan sumber daya alam yang terbatas, juga mampu membebaskan rakyatnya dari biaya pendidikan yang memberatkan rakyatnya, sehingga banyak anak petani dan buruh kasar di Mesir yang memegang gelar Doktor untuk Strata 3. Untuk dapat keluar dari permasalahan yang menyelimuti bangsa kita hari ini, tindakan drastis perlu dilakukan dalam bentuk demokratisasi pendidikan yang menjamin kesamaan hak dan akses kepada setiap bangsa Indonesia terhadap pendidikan dengan membebaskan rakyat dari biaya pendidikan yang sangat memberatkan pundak rakyat Indonesia terutama masyarakat lemah dan miskin, serta menawarkan fasilitas bantuan dana beasiswa kepada mereka yang benar-benar layak dan terbaik dari putra-putri Indonesia atau putra-putri daerah kelahiran Riau untuk melanjutkan studi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kita sangat merindukan kehadiran seorang pemimpin bangsa yang pintar, terpelajar, terdidik, bijaksana, dan berwawasan luas untuk merealisasikan konsep demokrasi yang sebenarnya dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketidakmampuan seorang pemimpin dalam memimpin bangsa dapat disebabkan keterbatasan kemampuan intelektual dalam melihat permasalahan bangsa secara nyata ataupun kelemahan menajerial. Keterbatasan visi dan misi ini terpaksa harus dibayar rakyat dengan harga yang sangat mahal. Wallohu A’lam.

* Penulis adalah Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama Kota Dumai.