GENERERASI MUDA GENERASI LALANG
Oleh
Lukman Syarif, MA
Ketika berusia belasan tahun, penulis pernah diajak bicara sang Ayah (almarhum ) dalam sebuah perjalanan ke sebuah kebun di Bagan Besar atau tepatnya di belakang Kantor Walikota sekarang. Ayah saya mengajukan sebuah pertanyaan yang agak berbeda bagi saya, dari beberapa pertanyaan yang pernah diberikansebelumnya. Apakah perbedaan yang paling nyata dan ketara antara induk lalang dan anak lalang yang biasanya tumbuh di beberapa tempat secara seporadis? Saya secara sepontan menjawab dengan lurus bahwa induk lalang lebih besar dan lebih tinggi dari anaknya. Namun Ayah saya ternyata belum puas dengan jawaban yang saya berikan. Ayah saya dengan kearifannya menyuruh saya membuka sandal yang saya pakai, lalu meminta saya untu menginjak induk lalang dan seterusnya diikuti dengan anak lalang. Setelah selesai mengerjakannya Ayah saya lalu bertanya lagi; Apakah perbedaan antara keduanya? Dengan agak berhati-hati penulis menjawab, bahwa perbedaan yang paling nyata antara keduanya adalah; induk lalang ketika dipijak mudah patah tanpa perlawanan, dan anak lalang dengan bentuknya yang runcing lebih melawan dan lebih mampu untuk bertahan. Ayah saya mengatakan benar dan bagus, namun intinya adalah anak harus beruhasa dengan sedaya upaya untuk menjadi lebih baik dari orangtuanya, tidak sekedar sama apalagi lebih buruk dan lemah dari mereka.
Dialog tersebut sangat berkesan dan memberikan pengaruh besar kepada penulis sampai hari ini, serta menjadi inspirasi dan motivasi kuat bagi penulis untuk lebih siap dan tekun menghadapi tantangan hari esok dan masa depan yang lebih menantang. Sesungguhnya perjuangan dan pengorbanan orangtua yang tak kenal lelah, bermandi keringat, dalam hujan dan panas, untuk memenuhi tuntutan kehidupan yang sangat berat dan di luar kemampuan mereka, namun tetap mereka laksanakan dan pikul, untuk mewujudkan sebuah keinginan dan harapan besar yang mereka letakkan pada anak-anak mereka sebagai generasi harapan. Tembok kemiskinan yang berdiri kukuh di hadapan orangtua, dan jurang keterbatasan hidup yang selalu mengganjal langkah mereka tak mampu merubah keyakinan mereka yang terpahat indah di dalam dada bahwa mereka adalah para pahlawan tangguh yang berpantang surut dari medan laga, rela mengadai nyawa agar sang anak tumbuh dan membesar dengan jaya.
Sejuta harapan diletakkan oleh orangtua pada anak-anak mereka yang menjadi generasi penerus, generasi lalang, dan generasi harapan, untuk mencapai cita-cita dan keinginan yang mungkin tak mampu mereka capai dan raih dalam hidup mereka. Cita-cita pribadi, cita-cita keluarga, masyarakat dan bangsa yang secara nyata dan natural mereka amanahkan kepada anak-anak mereka. Dalam perjuangan ini terkadang orangtua kita harus terpinggir karena kemiskinan, terhina karena ketidakmampuan dan tersisih karena ketidakberdayaan. Banyak hal-hal yang mustahil telah dilakukan oleh Ayah dan Ibu kita dalam memenuhi keperluan kita karena sangat jauh dari kemampuan finansial yang mereka miliki. Ayah dan ibu kita tak pernah mengungkapkan kata penat dan lelah apa lagi untuk meminta upah kepada kita atas setiap perjuangan mereka.
Generasi lalang pantas menyadari bahwa setiap rupiah yang mereka terima adalah hasil dari setiap tetesan keringat orangtua yang rela membanting tulang siang dan malam. Berpanas-panas di siang hari dengan hujan keringat membasahi tubuh dalam mencari rezeki yang halal dan bermanfaat untuk sebuah cita-cita murni dan pengorbanan yang tiada henti. Sesungguhnya untuk membesarkan seorang anak sampai usia 5 tahun saja diperlukan biaya puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah, guna memenuhi segala keperluan balita, bagaimana pula hal nya jika sepuluh atau dua puluh tahun sekolah dan kulliah mencari pekerjaan hingga mendirikan rumah tangga?
Generasi lalang tidak akan tega untuk bermain-main dengan keseriusan orangtua, atau bersenang-senang di bawah penderitaan mereka. Setiap anak mesti menyadari bahwa mereka sangat berutang budi kepada kedua orangtuanya. Generasi lalang tentunya akan berfikir bahwa, hutang tersebut sangat tidak wajar untuk dibayar dengan sikap cuek, hura-hura, dan hidup dengan liar tak peduli norma etika, serta pembangkangan yang berterusan ataupun sifat ego dan nekad tanpa kendali. Generasi lalang tentunya menyadari bahwa, setiap makanan yang mereka makan adalah jelmaan dari tetesan keringat yang membasahi tubuh orangtua yang tak terhingga jumlahnya. Jika mereka memakai pakaian yang baik, cantik dan mahal maka pakaian itu adalah tetesan keringat orangtua yang telah dijual untuk ditukar ganti dengan pakaian dan aksesoris yang dipakai. Tentunya sangat tidak pantas anak yang dibesarkan dengan penuh cinta kasih untuk menyiksa orangtuanya dengan kegagalan dan keruntuhan moral, apalagi untuk mengubur seluruh harapan dan cita-cita mereka dengan menjadi pencandu narkoba ataupun terlibat dalam prilaku seks bebas yang berakibat HIV/AIDS.
Menjadi pohon yang tumbuh dan membesar di atas bukit adalah nasehat sang ayah yang terus mengiang di telinga penulis hingga hari. Pohon yang tumbuh di atas bukit harus berhadapan dan terlatih dengan kuatnya hembusan angin dari sejak dini, sehingga ia mampu berhadapan dengannya, terutama ketika pohon tersebut tumbuh dan membesar. Pohon yang tumbuh di atas bukit jarang yang tumbang karena kuatnya terpaan angin, namun pohon yang tumbuh di lembah sering tumbang bila berhadapan dengan angin yang kuat, terutama ketika ketinggian pohon tersebut melebihi bukit di sekelilingnya. Generasi lalang adalah generasi yang tahan uji dan siap menghadapi tantangan. Generasi lalang adalah generasi yang lahir dan terdidik untuk menghadapi segala tantangan yang wujud di zamannya. Tak pernah lari dari masalah karena lari dari masalah bukanlah penyelesaian ( escapism is not solution ). Lari dari masalah adalah lari dari kenyataan, dan lari dari kenyataan adalah lari dari kehidupan. Generasi lalang dapat memahami hakikat kehidupan dunia yang tak pernah luput dari masalah dan tantangan, bak kata pepatah; bumi yang mana yang tak ditimpa hujan.
Generasi lalang melihat dan meyakini dengan sepenuhnya bahwa Allah swt menciptakan segalanya dengan berbagai jenis dan ragam, sehingga zaman pun selalu beragam. Ada malam, dan ada siang. Ada musim panas, dan ada musim dingin. Ada panas, dan ada dingin serta ada mendung dan ada berawan. Bumi kita juga selalu beragam. Ada pegunungan, ada lembah. Ada anak bukit, ada dataran rendah dan Ada sungai, serta bendungan. Kehidupan manusia juga beragam. Ada sedih, ada gembira. Ada ujian, ada karunia. Ada kelahiran ada pula kematian. Ada kaya, ada miskin. Ada damai, ada perang. Ada kesusahan ada pula kemudahan. Kita sering nampak derita hari ini, tapi kita jarang ingat kebahagiaan untuk esok hari. Kita mesti belajar untuk menghargai apa yg kita miliki hari ini, kerana kita takkan dapat mencapai penghargaan hari esoknya jika semuanya telah tiada. Semua hal tersebut adalah romantika kehidupan yang mesti dilalui untuk mencapai hari esok yang baik dan mengukir kesuksesan yang lebih berarati. Menjadi lebih baik dari orangtua dalam segala hal adalah tujuan hidup generasi lalang, karena anak lalang pasti lebih baik dan lebih kuat dari induknya. Wallahu’A’lam.
.
1 komentar:
Ass.Wr.Wb...
Saya sangat tersentuh sekali dengan tulisan Ustadz tentang "Generasi Lalang" tsb, realitanya generasi muda sekarang banyak yang kurang menyadari bahwa apa yang diperoleh saat ini adalah jerih payah dan perjuangan orangtua/pendahulu- pendahulu kita, apalagi bila kita kaitkan dengan negara kesatuan RI kita sekarang sudah terlihat gejala-gejala melunturnya semangat nasionalisme dan kepatuhan kepada pemimpin, saya juga kurang tahu persis fenomena apa yang terjadi sebenarnya...apakah ini pengaruh dari modernisasi dan globalisasi dengan paham-paham baratnya ??? apakah dibalik ini ada skenario besar dari pihak luar ??? (Barangkali perlu kajian yang mendalam)
benar apa yang ditulis Ustadz apa yang terjadi sekarang kecenderungan remaja lebih bersikap cuek, hura-hura, dan hidup dengan liar tak peduli norma etika, serta pembangkangan yang berterusan ataupun sifat ego dan nekad tanpa kendali...???
apalagi dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit sekarang ini, sulit diharapkan generasi muda kita menjadi "generasi Lalang", banyak dari mereka yang putus asa dan menyelesaikan masalah dengan masalah bukannya menyelesaikan masalah tanpa masalah...
dalam scope luas barangkali dalam dunia pendidikan kita perlu diperbanyak lagi dengan jam pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti, mungkin juga untuk menumbuhkan jiwa kejuangan dan semangat nasionalisme para generasi muda agar lebih menghargai jasa-jasa dan perjuangan/ pengorbanan pendahulu-pendahulu kita
perlu juga ditambahkan mata pelajaran kejuangan dan nasionalisme...
majulahlah "generasi lalang"...
(From : M.Natsir - Indonesian Navy)
Posting Komentar